Pada
zaman yang sudah canggih seperti ini, banyak sekali orang yang ingin memiliki
sebuah mobil dengan harga terjangkau. Mobil adalah salah satu alat transportasi
yang dapat membantu seseorang dalam bekerja dan memiliki kapasitas penumpang
yang cukup banyak. Fungsi dari mobil juga bukan hanya kepentingan dalam bekerja,
namun kepentingan pribadi. Mobil bisa membantu sebuah keluarga dalam berekreasi
jarak jauh ataupun dekat. Namun rasanya peluncuran mobil murah di pasar
otomotif nasional masih belum berjalan lancar. Hal ini dapat dilihat dari
persaingan mobil murah dengan mobil
nasional dan Esemka, kemudian juga dari upaya pemerintah, serta prospektif dari
mobil murah tersebut, dan yang tak kalah penting adalah konsekuensi dengan
adanya mobil murah itu sendiri.
Persaingan
antara mobil murah dengan mobil nasional masih saja belum ada titik cerahnya.
Banyak opini beberapa tokoh yang masih banyak beredar di media umum yang
menyebutkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing produk. Berdasarkan
diferensiasi dalam teknologi, mobnas listrik sebetulnya akan lebih berpeluang
bisa merebut ceruk pasar (niche market)
karena mempunyai keunggulan kompetitif terkait dengan isu-isu utama, yaitu
hemat energi, go green, dan murah.
Kini, baik embrio mobil listrik maupun Esemka menghadapi risiko persaingan
dengan korporasi otomotif global. Menilik harganya, Esemka ditujukan untuk
segmentasi konsumen middle-low.
Sejumlah pejabat negara dan tokoh masyarakat sempat terlihat latah berebutan
memesannya[1].
Upaya
pemerintah untuk memasyarakatkan mobil murah atau lost cost green car (LCGC) terus mendapat tantangan. Komisi VI DPR
Airlangga Hartanto menyatakan, pemerintah memang tidak berminat mengembangkan
mobil nasional (mobnas) dan lebih memilih mobil murah. Keputusan pemerintah
mengizinkan mobil murah ini dinilai tidak sejalan dengan program pemda dalam
mengembangkan transportasi umum[2].
Salah satu dalih pemerintah menelurkan kebijakan LCGC (low cost green car) adalah untuk melindungi pasar dalam negeri
(Detik.com, 10 juni 2013). Jika, Embrio mobil listrik dan Esemka ditinggal
sendirian, spirit nasionalisme serta apresiasi terhadap para ahli otomotif
dalam negeri – juga para pelajar-pelajar kita
akan meredup. Sehingga, pilihannya adalah dengan mobilisasi kultural,
konketnya adalah partisipasi para pemodal nasionalis dan segenap anak negeri
untuk berkolaborasi mendukung segala upaya pembuatan mobnas.
Presiden
Direktur PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Sudiman M.R. mengatakan, mobil murah ini
diharapkan bisa menjadi pilihan baru bagi konsumen otomotif di tanah air. Executive Officer Research and Development
ADM, Pradipto Sugondo mengatakan, masyarakat membutuhkan kendaraan yang handal
dan tangguh di kelasnya dengan harga yang terjangkau. Meski penjualan mobil
tahun ini diprediksi bakal menyusut akibat pelambatan ekonomi, namun para
produsen otomotif masih optimistis mobil murah ini bakal laris di pasaran. Direktur
Pemasaran ADM Amelia Chandra mengatakan, prospek mobil murah bakal lebih cerah
jika kelak ekonomi global membaik sehingga membuka peluang ekspor[3].
Dari sudut pandang industri peningkatan jualan mobil-mobil LCGC sangat selaras
dengan tujuan untuk mengembangkan industri komponen lokal. Peluncuran LCGC
tahun ini, merupakan sebuah langkah untuk memproteksi industri otomotif dalam
negeri[4].
Selain
menambah kemacetan, masyarakat juga menilai pemerintah seharusnya memperbaiki
transportasi publik. Konsekuensinya harus disadari dalam penetapan kuota BBM di
APBN. Singkatnya, apakah kebijakan LCGC ini lebih banyak membawa kebaikan atau
kerugian bagi bangsa ini? Mungkin hanya para pemegang merek dan pemerintah saja
yang tahu. Airlangga menjelaskan, kehadiran mobil murah itu bukan solusi bagi
Indonesia. Sebelumnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, mobil murah
itu akan menjadi prioritas ekspor. Diharapkan, pada 2015 Indonesia menjadi basis
produksi. Namun demikian, para analis justru mempertanyakan rencana pemerintah
yang akan menjadikan mobil murah tersebut untuk ekspor. Pasalnya, selama ini
Indonesia justru mengimpor mobil.
Pengamat
transportasi menegaskan, kebijakan
pemerintah untuk menghadirkan mobil murah itu bertentangan dengan kebijakan
penghematan energi. Anehnya, pemerintah
justru mendorong kebijakan mobil murah yang berdampak pada tingginya konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menanggapi hal ini, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, pihaknya akan mengusulkan mobil
murah itu harus menggunakan gas alam atau energi alternatif.
Persaingan
antara mobil murah dengan mobil nasional dan Esemka memang terlihat, banyak
sekali pro dan kontra mengenai peluncuran mobil murah tersebut. Upaya pemerinah
pun dalam memasyarakatkan mobil murah ini tidak main-main, walaupun masih
banyak pertentangan dengan berbagai pihak. Pemerintah tetap dengan kebijakan
nya dalam peluncuran mobil murah ini. Prospek dari mobil murah ini sangat
menggiurkan untuk beberapa agen otomotif di pasar nasional, karena pasar yang
dilirik adalah pasar konsumen menengah bawah. Namun efek samping yang di
timbulkan dengan adanya mobil murah pun perlahan- lahan mulai berdatangan.
Semakin banyak mobil murah yang terjual otomatis semakin banyak kendaraan yang
ada di jalan yang akan menimbulkan kemacetan, serta konsumsi BBM akan semakin
banyak dengan adanya mobil murah. Melihat kondisi seperti itu, bagaimana kalau
pemerintah lebih menggalakkan masyarakat dengan publik? Tidak ada salahnya
untuk memperbaiki sarana transportasi publik agar masyarakat pun senang
menggunakan nya dibandingkan membeli mobil murah. Sehingga kemacetan pun lambat laun akan
sedikit teratasi, konsumsi BBM pun tidak terus menambah.
[1] Flo. K.
Sapto W., “Mobil Murah, Mobil dalam Negeri, dan Jokowi”, Koran Tempo, Rabu,25 September 2013.
[2] Ahmad
Islamy Jamil, “Mobil Murah Bukan Solusi”, Republika,
22 September 2013.
[3]
Francisca Bertha Vistika, “Mobil Murah Prospektif saat Pasar Melesu”, Kontan, Selasa, 10 September 2013,
hal.15.
[4] TSR,
“Mobil Murah di Pasar Otomotif Nasional”,
IIMS, September 2013 hal.19.
Komentar
Posting Komentar